Kamis, 10 Juli 2008

Paradoks Hukuman Mati

Setelah beberapa hari yang lalu, regu tembak men-doooor dua terpidana mati pembawa heroin keturunan negro, hari-hari ini kembali publik membicarakan rencana Kejagung untuk mengeksekusi Sumiarsih dan anaknya, Sugeng, dua terpidana mati kasus pembunuhan keluarga Letkol Marinir Purwanto 13 Agustus 1988. Publik juga bertanya kapan terpidana bom Bali Amrozi cs dieksekusi?

Tulisan ini mungkin tidak ada hubungannya dengan komunitas blog ini, akan tetapi menarik juga jika sedikit dibahas tentang paradok-paradok yang berlaku dalam rangka proses pengambil alihan kekuasaan Tuhan (karena menghilangkan nyawa itu hanya hak Allah SWT) oleh manusia.

Banyak yang kontra terhadap hukuman itu, tetapi tidak sedikit pula yang bernafsu mempertahankannya. Sepanjang sejarah umat manusia, memang pro dan kontra itu tidak ada matinya. Pihak yang pro atau kontra punya argumentasi kuat dan rasional.

Selain kondisi seperti itu, sejak dulu hukuman mati mengandung paradoks. Meski membuat banyak orang mati, hukuman tersebut malah terus hidup dalam sejarah. Umur hukuman mati sudah setua peradaban manusia. Bahkan, yang satu itu tidak mengenal kata mati. Codex Hammurabi (2000 tahun SM) mencantumkan hukuman mati, bukan hanya untuk manusia, tapi juga binatang yang membunuh manusia (Dr J.A. Drossaart Bentfort, Tijdschrift voor Strafrecht 1940, Deep I p 308-309).

Paradoks Socrates

Dalam sejarah ada kasus pidana mati terbesar yang juga menyimpan paradoks, yakni menimpa Socrates yang dieksekusi sekitar 399 SM dalam umur 70 tahun. Sokrates dianggap menyesatkan kaum muda agar tidak mempercayai para dewa. Padahal, dia justru mengajari mereka untuk mencapai kebijaksanaan yang sejati dengan berani berfilsafat atau mencintai kebenaran sehingga terhindar dari kedangkalan berpikir.

Meski dibujuk melarikan diri, Socrates tetap menerima vonis matinya. Eksekusi dilangsungkan dengan Sokrates memilih meminum racun. Paradoksnya, tubuh Socrates memang dimatikan oleh racun itu, tapi pemikiran-pemikirannya justru hidup hingga sekarang.

Paradoks tersebut juga bisa dibaca dari hukum positif kita yang masih mencantumkan hukuman mati, yang justru diadopsi dari hukum Belanda yang pernah menjajah kita. Paradoksnya lagi, Belanda sekarang sudah mencabut hukuman mati.

Kalau ditelusuri sejarahnya, Belanda pernah melaksanakan hukuman mati dengan tujuan memberi efek jera bagi yang lain. Eksekusi berlangsung di tempat umum. Yang menarik dalam konteks itu ialah kasus di musim semi 1860 di Leeuwaarden, ketika berlangsung eksekusi mati atas seorang pria yang dituduh membunuh teman wanitanya. Itu terjadi pada Jumat.

Anehnya, Selasa berikutnya, seorang pria yang tinggal di dekat tempat eksekusi dan sempat melihat eksekusi mati pada Jumat tersebut justru tidak jera. Dia malah berani membunuh temannya. Dia mendapat inspirasi dari eksekusi Jumat itu untuk membunuh sang teman (Weekblad van Regt No 2152). Itulah paradoks dari Belanda!

Paradoks Hukum Kita

Konyolnya, pada 2008 Indonesia masih menggunakan pasal-pasal hukum warisan Belanda. Dalam KUHP kita, terdapat dua pasal ancaman hukuman mati, yaitu pasal 104 tentang kejahatan terhadap keamanan negara atau makar dan pasal 340 tentang pembunuhan berencana. Pasal-pasal di KUHP itu merupakan kopi dari Wetboek van Strafrecht (Wv.S) yang disahkan kolonial Belanda pada 1 Januari 1918. Itu jelas paradoks yang menggelikan. Kita hidup di abad ke-21, tapi masih memakai hukum abad ke-20, yang notabene produk dari negeri yang pernah menjajah kita. Padahal, sejak usainya Perang Dunia II, Belanda sudah menghapus hukuman mati.

Anehnya dari perspektif konstitusi, ada pendapat yang mengemuka bahwa hukuman mati seharusnya dilarang (strictly prohibited). Pendapat itu didasarkan pada bunyi pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, ”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”

Hak untuk hidup seperti itu paling ditekankan untuk dihormati dan dilindungi semua negara sebagaimana terkandung dalam pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang juga sudah diratifikasi pemerintah RI. Hak tersebut juga dilindungi baik dalam pasal 28A UUD 1945 seperti sudah disebutkan di atas maupun pasal 4 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Jadi, hukum kita terkait hukuman mati tampak ambivalens, di satu sisi dicantumkan dalam hukum positif.

Tapi, dalam hukum positif kita, juga ada pasal yang mengharuskan negara melindungi hak hidup warganya. Tren global belakangan ini menunjukkan hukuman mati kian dijauhi dan diganti dengan hukuman seumur hidup. Hukuman mati dipandang amat melecehkan martabat manusia dan seolah hendak mengambil peran Sang Pencipta untuk mengambil nyawa seseorang. Hingga Juni 2006, hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik hukuman mati, termasuk Indonesia.

Sekitar 30 negara melakukan moratorium (de facto tidak menerapkan) hukuman mati dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan) terhadap hukuman mati. Tanpa berpretensi membenarkan tindakan Sumiarsih, Sugeng, maupun Amrozi cs yang menyebabkan banyak korban, perlu dikaji lagi rencana eksekusi terhadap mereka.

Mengeksekusi mati mereka seolah hanya mengulang kebiadaban mereka. Tak ada untungnya mengeksekusi mati mereka. Sebaiknya siapa pun jangan dihukum atau dieksekusi mati. Lebih baik diganti hukuman lain. Toh, suatu hari entah Sumiarsih, Sugeng, Amrozi cs, atau siapa pun akan mati dengan sendirinya.

Padang 11 Juli 2008
yusta noverison (anti hukuman mati)

0 komentar: