Kamis, 16 Oktober 2008

PERMOHONAN

Teman-teman yang saya hormati

Blog angkatan XA Mkom ini kita buat adalah sebagai wadah
atau media komunikasi kita.
Kita harus menjaganya dari kata2 atau kalimat yang merusak blog kita ini
Saya berharap blog ini sebagai media yang positif bagi kita untuk
bahan masukan untuk kuliah atau informasi lainnya

Terima kasih
Wassalam

Yandri
Rabu, 15 Oktober 2008

Jadwal kuliah Semester II

JADWAL KULIAH SEMESTER II
ANGKATAN XA
  1. Sabtu 11 Oktober 2008, Sofware Engineering (DR.Ir.Gunadi Widi Nurcahyo,M.Sc)
  2. Minggu, 12 Oktober 2008, Model Simulasi (DR.Ir.Rila Mandala,M.Eng)
  3. Sabtu, 1 November 2008, Expert System (DR.Sarjon Defit, S.Kom,M.Sc)
  4. Minggu, 2 November 2008, Model Simulasi (DR.Ir.Rila Mandala,M.Eng)
  5. Sabtu, 15 November 2008, Expert System (DR.Sarjon Defit, S.Kom,M.Sc)
  6. Minggu, 16 November 2008, Sofware Engineering (DR.Ir.Gunadi Widi Nurcahyo,M.Sc)
  7. Sabtu, 22 November 2008, Computer Security (DR.Ing.M.Sukrisno Mardiyanto)
  8. Minggu, 23 November 2008, Computer Security (DR.Ing.M.Sukrisno Mardiyanto)
  9. Sabtu, 20 Desember 2008, Computer Security (DR.Ing.M.Sukrisno Mardiyanto)
  10. Sabtu, 21 Desember 2008, Computer Security (DR.Ing.M.Sukrisno Mardiyanto)
  11. Sabtu 3 Januari 2009, Sofware Engineering (DR.Ir.Gunadi Widi Nurcahyo,M.Sc)
  12. Minggu 4 Januari 2009, Sofware Engineering (DR.Ir.Gunadi Widi Nurcahyo,M.Sc)
  13. Sabtu 17 Januari 2009, Expert System (DR.Sarjon Defit, S.Kom,M.Sc)
  14. Minggu 18 Januari 2009, Model Simulasi (DR.Ir.Rila Mandala,M.Eng)
  15. Sabtu 31 Januari 2009, UAS
  16. Minggu 1 Februari 2009, UAS
Senin, 13 Oktober 2008

GELAS RETAK

Gelas adalah wadah untuk kita minum
minum pasti identik dengan air
Setiap hari kita selalu mengunakan gelas untuk minum
Supaya gelas yang kita pakai ini tidak rusak atau retak
dikarenakan oleh jatuh atau hal2 lain yang membuat dia rusak
kita harus menjaganya

Begitu juga kita sebagai komunitas /kelompok di Angkatan XA Mkom ini
Janganlah kita sampai retak atau rusak oleh akibat dari ego atau kepentingan individu
Kita harus menghargai kekompakan kita kebersamaan kita
Kebersamaan adalah milik kita
Kompak selamanya walaupun telah diwisuda besoknya

janganlah kita seperti gelas retak akibat kepentingan individu
atau ego kita

Wassalam

Yandri
Sabtu, 11 Oktober 2008
SERTIFIKASI GURU,
KELIRU ATAU SERTIFIKASI BURU BURU
Oleh : Syamsirwan
Pendahuluan
Peran guru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia ini sungguh besar dan sangat menentukan. Guru merupakan salah satu faktor yang menentukan maju tidaknya suatu bangsa, karena bangsa yang maju dapat dilihat salahsatunya dari rata-rata tingkat pendidikan masyarakatnya, serta seberapa besar perhatian dan upaya bangsa itu untuk mendidik generasi mudanya. Asumsinya, jika generasi muda memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan diri, bakat dan kecakapannya, mendalami pengetahuan, serta mengembangkan watak dan kepribadian serta disiplin dan keluhuran budi, maka yakinlah bahwa bangsa itu akan memiliki masa depan yang cerah. Untuk mewujudkan ini semua, gurulah yang menjadi ujung tombaknya.
Setelah berpuluh-puluh tahun menjalankan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa yang telah puluhan tahun merdeka ini, barulah para guru mendapat angin surga yang menjanjikan dengan munculnya UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Permendiknas No.18 Th 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Dengan undang-undang ini harkat dan martabat guru dapat meningkat, setidaknya para guru bujangan tidak ada lagi yang malu menyebutkan profesinya ketika menjumpai calon mertua. Para guru tidak perlu lagi nyambi ketika menjalankan tugasnya. Karena gaji guru sudah sangat menggiurkan, maka para siswa yang pintar juga mulai banyak yang berminat untuk melanjutkan pendidikannya ke pendidikan keguruan seperti FKIP atau LPTK.
Apa yang dijanjikan oleh UU No.14 Tahun 2005 ? Pada pasal 2 disebutkan : (1) guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Pengakuan jabatan guru sebagai profesi jelas mengandung konsekuensi, sebagaimana profesi lainnya, guru akan dibayar tinggi untuk keahliannya itu. Di sinilah mulai muncul berbagai pertanyaan di otak kita, apakah semua guru dapat disertifikasi ? Siapa yang melaksanakan sertifikasi ? Apakah orang yang menyertifikasi seorang guru juga orang yang profesional dan memiliki pengalaman bagaimana menjadi guru yang profesional, bukan teoritis ? Dan jika guru tidak memiliki sertifikat pendidik, apakah mereka tidak layak menjadi guru?

Sertifikasi Guru
Sertifikasi guru melalui uji kompetensi memperhitungkan pengalaman profesionalitas guru, yaitu melalui penilaian portofolio guru. Sepuluh komponen portofolio guru akan dinilai oleh perguruan tinggi / LPTK penyelenggara sertifikasi guru. Selain sudah terakreditasi, penentuan perguruan tinggi / LPTK yang ditunjuk sangat tergantung pada persyaratan yang terkait dengan mutu LPTK yang bersangkutan. Sepuluh komponen portofolio guru yang akan dinilai pada sertifikasi guru tersebut adalah:
kualifikasi akademik;
pendidikan dan pelatihan;
pengalaman mengajar;
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
penilaian dari atasan dan pengawas;
prestasi akademik;
karya pengembangan profesi;
keikutsertaan dalam forum ilmiah;
pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Pada hasil penilaian terhadap kumpulan dokumen fortofolio guru tersebut, maka guru harus memperoleh nilai minimal 850 untuk bisa lulus. Bagi guru yang lulus akan mendapat sertifikat pendidik. Sedangkan guru yang belum memenuhi batas minimal kelulusan dapat melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi dokumen portofolio agar mencapai nilai minimal; atau mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diakhiri dengan ujian, hingga guru dapat menguasai kompetensi guru. Ujian sebagaimana dimaksud Permendiknas No. 18 Th.2007 pada ayat (5) huruf b tersebut mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Jika kita amati para guru yang akan disertifikasi, maka mereka harus mengumpulkan bahan-bahan sebagaimana 10 poin di atas, sejak yang bersangkutan menjadi calon pegawai (capeg). Dapat dibayangkan jika guru yang sudah mengajar puluhan tahun atau guru senior, apalagi yang sudah bergolongan IV, seberapa banyak bahan pendukung mulai dari sertifikat, SK-SK dan sebagainya yang harus dilampirkan. Mengapa tidak ada pemikiran untuk menyederhanakan sistem ini dan memudahkan para guru untuk mengikuti sertifikasi? Kita mengetahui bahwa guru memperoleh kenaikan pangkat melalui kredit poin. Bukankah pada setiap kali kenaikan pangkat itu para guru memperoleh penetapan angka kredit (PAK), yang di dalamnya berisikan angka-angka kredit guru tersebut ? Sementara yang akan dinilai pada sertifikasi guru sebagian besar juga terdapat pada PAK yang telah dimiliki guru itu. Dengan demikian tidak perlu lagi setumpuk besar bahan yang harus disiapkan guru, cukup dari PAK dan ditambah bukti fisik lain yang belum dinilai.

Pola Seleksi
Untuk menyeleksi guru yang akan diikutkan dalam sertifikasi karena adanya kuota yang ditetapkan, maka ijazah S1 kependidikan adalah syarat mutlak, kemudian masa kerja guru. Artinya guru-guru yang berijazah S1 mestinya diurutkan berdasarkan masa kerja, kemudian diambil sesuai kuota daerah untuk diikutkan sertifikasi. Kemudian ditambahkan dengan sejumlah guru lainnya yang mememenuhi persyaratan selanjutnya seperti guru berprestasi, guru di daerah khusus, dsb. Jadi tidak perlu ada sistem pemerataan atau jatah persekolah atau kecamatan. Sehingga bisa jadi guru-guru yang disertifikasi semuanya berasal dari satu sekolah saja, jika memang di sekolah tersebut semua gurunya adalah guru yang masa kerjanya paling lama.
Namun, fakta di lapangan yang kita lihat ternyata amat banyak guru yang masa kerjanya puluhan tahun, misalnya NIP 130... dan 131... – tapi tidak ikut sertifikasi. Sementara guru lainnya dengan masa kerja baru beberapa tahun saja, yang memiliki NIP132... dan bahkan NIP 43... (SMP/SLTA) malah diikutkan sertifikasi, yang akhirnya lulus juga. Apakah guru-guru dengan masa kerja baru beberapa tahun itu tidak berhak? Jelas mereka memiliki hak juga, tapi guru yang masa kerjanya lebih lama memiliki hak lebih besar dari mereka yang baru tersebut. Maka, dahulukanlah mereka yang lebih berhak.
Apa yang salah? Apakah keliru karena terburu-buru? Kesalahannya terletak pada sistem, kuota, dan pola seleksinya. Karena diburu waktu, maka pihak pengelola tidak melaksanakan sosialisasi dengan benar. Sehingga mereka yang menyampaikan usulan untuk sertifikasi adalah mereka yang mendapat informasi atau mungkin karena punya koneksi. Untuk ikut dalam daftar usul sertifikasi, berbagai cara dapat ditempuh. Ada yang diusulkan secara resmi oleh sekolah yang mendapat ”jatah”, ada pula yang datang sendiri dan ngotot untuk disertifikasi. Tentu saja dengan satu harapan, jika lolos nanti akan memperoleh tunjangan profesi hampir sebanyak gaji saat ini.
Berbagai macam keluhan guru terhadap seleksi calon peserta sertifikasi dapat kita cermati saat ini. Fakta-fakta menunjukkan buruknya mekanisme pelaksanaan seleksi ini. Ada guru yang memiliki ijazah S1 dan lebih senior dibandingkan rekan guru lainnya pada suatu sekolah yang sama, baik pangkat maupun masa kerjanya, bahkan lebih senior dari kepala sekolahnya sendiri, tapi tidak diikutkan sertifikasi. Sementara guru lainnya, termasuk sang kepala sekolah bisa ikut dan akhirnya lolos.
Mengapa ini terjadi? Apakah karena singkatnya waktu sehingga seleksi ini dilakukan dengan terburu buru ? Siapa cepat, dia dapat. Atau mungkin pula karena pihak pengelola tidak mempunyai data-data lengkap tentang guru yang dapat mereka akses ? Atau jangan-jangan tidak ada sama sekali. Kalau begini, wah?
Ke depan sistem kuota ini perlu dikaji lebih cermat lagi. Kuota per propinsi boleh dilakukan asal mempertimbangkan jumlah guru senior di daerah itu. Daerah baru ( pemekaran) bisa jadi memiliki jumlah guru yang sama dengan daerah lainnya yang sudah lebih lama, tapi guru yang lebih lama masa kerjanya atau yang lebih berhak disertifikasi belum tentu sama jumlahnya. Kemungkinan guru di daerah pemekaran ini lebih banyak guru barunya. Dengan kata lain, penentuan kuota untuk tiap daerah harus dipertimbangkan dengan baik. Apa lagi kuota per kecamatan atau per sekolah, sangat lah tidak adil.

Pelaksanaan Diklat
Sebagaimana dijelaskan dalam Permendiknas No.18 Th 2007, bagi guru yang tidak mencapai nilai minimal 850 dapat dapat melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi dokumen portofolio agar mencapai nilai lulus; atau mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diakhiri dengan ujian, ujian dimaksud mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Yang menjadi pertanyaan kita dari kenyataan pelaksanaan diklat bagi guru yang tidak lolos baru-baru ini adalah, apakah bermanfaat pelaksanaan diklat ini untuk peningkatan mutu guru? Apakah diklat tersebut hanya syarat atau formalitas saja, sehingga akhirnya mereka yang nilainya jauh dibawah syarat minimal 850, setelah diklat toh lulus semua juga? Dalam pelaksanaannya pun dapat kita lihat beberapa hal yang aneh, misalnya pada pola penyelenggaraannya, mulai dari jam pelajarannya dikurangi, hari pelaksanaan yang tidak cukup (walaupun kemudian mereka menambah lagi dengan biaya sebagian ditanggung oleh guru), pelatih yang tidak tepat waktu dan tidak berkemampuan yang layak sebagai pelatih guru, sebagian guru hanya kebagian peer teaching 30 menit saja dan tanpa dievaluasi serta pembahasan lebih lanjut.
Selain itu guru-guru yang tidak lolos, baik belum mencapai nilai minimal 850 maupun yang mendapat nilai 0 pada salah-satu poin meski nilai lebih dari syarat minimal, harus mengikuti diklat yang dilaksanakan secara bersama-sama, tanpa melihat latar belakang keguruannya serta titik lemah atau poin mana dari portofolio guru yang dinilai memerlukan perbaikan. Mestinya para guru yang memiliki permasalahan yang sama, ditempatkan dalam satu kelompok, kemudian baru dilatih sesuai keperluan. Guru-guru SD, SMP, SMA/SMK mestinya tidak digabung dalam pelaksanaan diklat itu. Dengan demikian para pelatih dapat lebih fokus membina para guru yang homogen tersebut dan para peserta diklat pun dapat saling mengisi.
Alangkah baiknya kedepan ini diklat seperti ini ditiadakan saja. Kita dapat menggunakan cara lain yang lebih adil, yaitu dengan menyampaikan usul guru yang akan disertifikasi di atas jumlah/kuota yang ditentukan. Jika kuota suatu daerah adalah 250 orang, maka yang dikirim mungkin 400 orang calon atau lebih. Ini dimaksudkan, jika dari 250 orang itu ada yang tidak lulus, maka dinaikkan nama-nama dibawahnya sesuai urutan peringkat. Kecuali bagi mereka yang hanya melengkapi bahan yang kurang saja. Jadi tidak perlu lagi mengikuti diklat yang menghabiskan dana sedemikian banyak, sementara manfaat diklat itu tidak nampak.

SERTIFIKASI GURU,
KELIRU ATAU SERTIFIKASI BURU BURU
Oleh : Syamsirwan
Pendahuluan
Peran guru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia ini sungguh besar dan sangat menentukan. Guru merupakan salah satu faktor yang menentukan maju tidaknya suatu bangsa, karena bangsa yang maju dapat dilihat salahsatunya dari rata-rata tingkat pendidikan masyarakatnya, serta seberapa besar perhatian dan upaya bangsa itu untuk mendidik generasi mudanya. Asumsinya, jika generasi muda memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan diri, bakat dan kecakapannya, mendalami pengetahuan, serta mengembangkan watak dan kepribadian serta disiplin dan keluhuran budi, maka yakinlah bahwa bangsa itu akan memiliki masa depan yang cerah. Untuk mewujudkan ini semua, gurulah yang menjadi ujung tombaknya.
Setelah berpuluh-puluh tahun menjalankan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa yang telah puluhan tahun merdeka ini, barulah para guru mendapat angin surga yang menjanjikan dengan munculnya UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, serta Permendiknas No.18 Th 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Dengan undang-undang ini harkat dan martabat guru dapat meningkat, setidaknya para guru bujangan tidak ada lagi yang malu menyebutkan profesinya ketika menjumpai calon mertua. Para guru tidak perlu lagi nyambi ketika menjalankan tugasnya. Karena gaji guru sudah sangat menggiurkan, maka para siswa yang pintar juga mulai banyak yang berminat untuk melanjutkan pendidikannya ke pendidikan keguruan seperti FKIP atau LPTK.
Apa yang dijanjikan oleh UU No.14 Tahun 2005 ? Pada pasal 2 disebutkan : (1) guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Pengakuan jabatan guru sebagai profesi jelas mengandung konsekuensi, sebagaimana profesi lainnya, guru akan dibayar tinggi untuk keahliannya itu. Di sinilah mulai muncul berbagai pertanyaan di otak kita, apakah semua guru dapat disertifikasi ? Siapa yang melaksanakan sertifikasi ? Apakah orang yang menyertifikasi seorang guru juga orang yang profesional dan memiliki pengalaman bagaimana menjadi guru yang profesional, bukan teoritis ? Dan jika guru tidak memiliki sertifikat pendidik, apakah mereka tidak layak menjadi guru?

Sertifikasi Guru
Sertifikasi guru melalui uji kompetensi memperhitungkan pengalaman profesionalitas guru, yaitu melalui penilaian portofolio guru. Sepuluh komponen portofolio guru akan dinilai oleh perguruan tinggi / LPTK penyelenggara sertifikasi guru. Selain sudah terakreditasi, penentuan perguruan tinggi / LPTK yang ditunjuk sangat tergantung pada persyaratan yang terkait dengan mutu LPTK yang bersangkutan. Sepuluh komponen portofolio guru yang akan dinilai pada sertifikasi guru tersebut adalah:
kualifikasi akademik;
pendidikan dan pelatihan;
pengalaman mengajar;
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran;
penilaian dari atasan dan pengawas;
prestasi akademik;
karya pengembangan profesi;
keikutsertaan dalam forum ilmiah;
pengalaman organisasi di bidang kependidikan dan sosial; dan
penghargaan yang relevan dengan bidang pendidikan.
Pada hasil penilaian terhadap kumpulan dokumen fortofolio guru tersebut, maka guru harus memperoleh nilai minimal 850 untuk bisa lulus. Bagi guru yang lulus akan mendapat sertifikat pendidik. Sedangkan guru yang belum memenuhi batas minimal kelulusan dapat melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi dokumen portofolio agar mencapai nilai minimal; atau mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diakhiri dengan ujian, hingga guru dapat menguasai kompetensi guru. Ujian sebagaimana dimaksud Permendiknas No. 18 Th.2007 pada ayat (5) huruf b tersebut mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Jika kita amati para guru yang akan disertifikasi, maka mereka harus mengumpulkan bahan-bahan sebagaimana 10 poin di atas, sejak yang bersangkutan menjadi calon pegawai (capeg). Dapat dibayangkan jika guru yang sudah mengajar puluhan tahun atau guru senior, apalagi yang sudah bergolongan IV, seberapa banyak bahan pendukung mulai dari sertifikat, SK-SK dan sebagainya yang harus dilampirkan. Mengapa tidak ada pemikiran untuk menyederhanakan sistem ini dan memudahkan para guru untuk mengikuti sertifikasi? Kita mengetahui bahwa guru memperoleh kenaikan pangkat melalui kredit poin. Bukankah pada setiap kali kenaikan pangkat itu para guru memperoleh penetapan angka kredit (PAK), yang di dalamnya berisikan angka-angka kredit guru tersebut ? Sementara yang akan dinilai pada sertifikasi guru sebagian besar juga terdapat pada PAK yang telah dimiliki guru itu. Dengan demikian tidak perlu lagi setumpuk besar bahan yang harus disiapkan guru, cukup dari PAK dan ditambah bukti fisik lain yang belum dinilai.

Pola Seleksi
Untuk menyeleksi guru yang akan diikutkan dalam sertifikasi karena adanya kuota yang ditetapkan, maka ijazah S1 kependidikan adalah syarat mutlak, kemudian masa kerja guru. Artinya guru-guru yang berijazah S1 mestinya diurutkan berdasarkan masa kerja, kemudian diambil sesuai kuota daerah untuk diikutkan sertifikasi. Kemudian ditambahkan dengan sejumlah guru lainnya yang mememenuhi persyaratan selanjutnya seperti guru berprestasi, guru di daerah khusus, dsb. Jadi tidak perlu ada sistem pemerataan atau jatah persekolah atau kecamatan. Sehingga bisa jadi guru-guru yang disertifikasi semuanya berasal dari satu sekolah saja, jika memang di sekolah tersebut semua gurunya adalah guru yang masa kerjanya paling lama.
Namun, fakta di lapangan yang kita lihat ternyata amat banyak guru yang masa kerjanya puluhan tahun, misalnya NIP 130... dan 131... – tapi tidak ikut sertifikasi. Sementara guru lainnya dengan masa kerja baru beberapa tahun saja, yang memiliki NIP132... dan bahkan NIP 43... (SMP/SLTA) malah diikutkan sertifikasi, yang akhirnya lulus juga. Apakah guru-guru dengan masa kerja baru beberapa tahun itu tidak berhak? Jelas mereka memiliki hak juga, tapi guru yang masa kerjanya lebih lama memiliki hak lebih besar dari mereka yang baru tersebut. Maka, dahulukanlah mereka yang lebih berhak.
Apa yang salah? Apakah keliru karena terburu-buru? Kesalahannya terletak pada sistem, kuota, dan pola seleksinya. Karena diburu waktu, maka pihak pengelola tidak melaksanakan sosialisasi dengan benar. Sehingga mereka yang menyampaikan usulan untuk sertifikasi adalah mereka yang mendapat informasi atau mungkin karena punya koneksi. Untuk ikut dalam daftar usul sertifikasi, berbagai cara dapat ditempuh. Ada yang diusulkan secara resmi oleh sekolah yang mendapat ”jatah”, ada pula yang datang sendiri dan ngotot untuk disertifikasi. Tentu saja dengan satu harapan, jika lolos nanti akan memperoleh tunjangan profesi hampir sebanyak gaji saat ini.
Berbagai macam keluhan guru terhadap seleksi calon peserta sertifikasi dapat kita cermati saat ini. Fakta-fakta menunjukkan buruknya mekanisme pelaksanaan seleksi ini. Ada guru yang memiliki ijazah S1 dan lebih senior dibandingkan rekan guru lainnya pada suatu sekolah yang sama, baik pangkat maupun masa kerjanya, bahkan lebih senior dari kepala sekolahnya sendiri, tapi tidak diikutkan sertifikasi. Sementara guru lainnya, termasuk sang kepala sekolah bisa ikut dan akhirnya lolos.
Mengapa ini terjadi? Apakah karena singkatnya waktu sehingga seleksi ini dilakukan dengan terburu buru ? Siapa cepat, dia dapat. Atau mungkin pula karena pihak pengelola tidak mempunyai data-data lengkap tentang guru yang dapat mereka akses ? Atau jangan-jangan tidak ada sama sekali. Kalau begini, wah?
Ke depan sistem kuota ini perlu dikaji lebih cermat lagi. Kuota per propinsi boleh dilakukan asal mempertimbangkan jumlah guru senior di daerah itu. Daerah baru ( pemekaran) bisa jadi memiliki jumlah guru yang sama dengan daerah lainnya yang sudah lebih lama, tapi guru yang lebih lama masa kerjanya atau yang lebih berhak disertifikasi belum tentu sama jumlahnya. Kemungkinan guru di daerah pemekaran ini lebih banyak guru barunya. Dengan kata lain, penentuan kuota untuk tiap daerah harus dipertimbangkan dengan baik. Apa lagi kuota per kecamatan atau per sekolah, sangat lah tidak adil.

Pelaksanaan Diklat
Sebagaimana dijelaskan dalam Permendiknas No.18 Th 2007, bagi guru yang tidak mencapai nilai minimal 850 dapat dapat melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi dokumen portofolio agar mencapai nilai lulus; atau mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diakhiri dengan ujian, ujian dimaksud mencakup kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Yang menjadi pertanyaan kita dari kenyataan pelaksanaan diklat bagi guru yang tidak lolos baru-baru ini adalah, apakah bermanfaat pelaksanaan diklat ini untuk peningkatan mutu guru? Apakah diklat tersebut hanya syarat atau formalitas saja, sehingga akhirnya mereka yang nilainya jauh dibawah syarat minimal 850, setelah diklat toh lulus semua juga? Dalam pelaksanaannya pun dapat kita lihat beberapa hal yang aneh, misalnya pada pola penyelenggaraannya, mulai dari jam pelajarannya dikurangi, hari pelaksanaan yang tidak cukup (walaupun kemudian mereka menambah lagi dengan biaya sebagian ditanggung oleh guru), pelatih yang tidak tepat waktu dan tidak berkemampuan yang layak sebagai pelatih guru, sebagian guru hanya kebagian peer teaching 30 menit saja dan tanpa dievaluasi serta pembahasan lebih lanjut.
Selain itu guru-guru yang tidak lolos, baik belum mencapai nilai minimal 850 maupun yang mendapat nilai 0 pada salah-satu poin meski nilai lebih dari syarat minimal, harus mengikuti diklat yang dilaksanakan secara bersama-sama, tanpa melihat latar belakang keguruannya serta titik lemah atau poin mana dari portofolio guru yang dinilai memerlukan perbaikan. Mestinya para guru yang memiliki permasalahan yang sama, ditempatkan dalam satu kelompok, kemudian baru dilatih sesuai keperluan. Guru-guru SD, SMP, SMA/SMK mestinya tidak digabung dalam pelaksanaan diklat itu. Dengan demikian para pelatih dapat lebih fokus membina para guru yang homogen tersebut dan para peserta diklat pun dapat saling mengisi.
Alangkah baiknya kedepan ini diklat seperti ini ditiadakan saja. Kita dapat menggunakan cara lain yang lebih adil, yaitu dengan menyampaikan usul guru yang akan disertifikasi di atas jumlah/kuota yang ditentukan. Jika kuota suatu daerah adalah 250 orang, maka yang dikirim mungkin 400 orang calon atau lebih. Ini dimaksudkan, jika dari 250 orang itu ada yang tidak lulus, maka dinaikkan nama-nama dibawahnya sesuai urutan peringkat. Kecuali bagi mereka yang hanya melengkapi bahan yang kurang saja. Jadi tidak perlu lagi mengikuti diklat yang menghabiskan dana sedemikian banyak, sementara manfaat diklat itu tidak nampak.

Senin, 06 Oktober 2008

Cuil.com | Revolusi Baru Mesin Pencari


Cuil ada yang uda pernah coba ? denger2 dari beritanya pendiri cuil.com ini adalah mantan karyawan Google yang keluar di tahun 2006 lalu, dia adalah Anna Peterson. Cuil di claim mampu mengalahkan Google dengan kemampuannya yang telah meng-index situs lebih dari 120 miliar halaman website.

Dari segi tampilan hampir sama dengan google, cuil juga mementingkan kecepatan akses dan tampilan yang cukup sederhana di halaman depan. Namun yang berbeda disini adalah, Cuil menggunakan latar warna latar belakang hitam.

Sedikit yang membedakan adalah, di Cuil (setahu saya) belum tersedianya pencarian khusus image dan pencarian tingkat advance atau semacamnya. Namun di halaman hasil pencarian, cuil langsung dapat memperlihatkan thumbnail image website yang di cari dengan tampilan hasil pencarian berbentuk kolom layaknya pada majalah.

Sempat saya test ke beberapa website pribadi saya di cuil, hebatnya merekatelah ter-index, padahal saya belum merasa submit url kesana . Kita lihat saja perkembangan cuil, yang jelas ini merupakan jendela baru bagi kita untuk menggunaka mesin pencari alternatif selain yang uda kita kenal sekarang.


sumber : blog.rizkyonline

Minggu, 05 Oktober 2008












Seiring terbenamnya matahari akhir ramadhan di ufuk barat pertanda awal syawal telah tiba, maka dengan segala kerendahan hati kami mengucapkan
"SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1429 H"
MINAL AIDIN WALFAIZIN MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN






YANDRI,Mkom
Jumat, 03 Oktober 2008