Jumat, 13 Juni 2008

Rekayasa Informasi

Zaman sekarang sudah jauh berubah. Dulu, jika ada peristiwa ditanah seberang (jawa), dari semenjak kejadian baru beberapa hari sampai kabarnya ditelinga kita, itupun kadang beritanya aur-aur, entah ia entah tidak. Di Ranah Minangkabau, Kalau ada keluarga yang merantau, jika ingin tahu bagaimana keadaanya diperantauan, hanya bisa diperoleh melalui surat airmail yang datang sekali dalam 3 bulan.

Kabar burung dulu jadi istilah yang sering disebut-sebut, sekarang mungkin karena burung semakin hari kian sedikit karena hutan pada gundul, sehingganya berita burung menjadi barang yang langka. Kalaupun ada, istilah kabar burung merupakan sinonim dari berita yang lebih menjurus kepada pengkambing hitaman. Kalau beritanya salah…ya..itukan kabar burung.

Diakhir abad ke-20 yang lalu, seorang Alvin Tofler mengatakan bahwa era kedepan merupakan era informasi, siapa yang menguasai Informasi akan menguasai dunia. Sudah banyak fakta yang membenarkan ramalan itu, harga minyak yang tak terkendali karena ulah permainan spekulan yang bisa merekayasa informasi. Tidak hanya itu, informasi juga bisa menyebabkan kebijakan suatu negara akan menjadi berubah.

Ingatlah, bahwa kebijakan menaikan harga BBM di negeri yang kekayaan minyaknya melimpah dan diambil dari dalam perut Ibu Pertiwi, adalah akibat dari perekayasaan informasi. Para spekulan dan para Mafia Berkeley di negeri ini, berhasil merekayasa informasi sedemikian rupa sehingga pemahaman para pengambil keputusan tentang hubungan minyak dengan APBN menjadi tidak rasional.

Akibatnya mereka kelimpungan dan ngotot untuk terus menyamakan harga minyak di Indonesia dengan harga minyak didunia, tanpa berfikir kalau minyak itu tidak dibeli tapi diambil, dan tanpa berfikir bahwa seluruh akibatnya akan ditanggung oleh rakyat yang semakin terpuruk, sengsara dan melata.

Manakala kebijakan negara ditolak oleh rakyatnya, maka terjadilah aksi demo. Tugas pemerintah selanjutnya adalah bagaimana meredam gejolak itu agar tidak berlanjut. Jawabannya adalah…ya itu tadi..Rekayasa Informasi..Maka direkayasalah informasi baru yang bisa meredam amarah rakyat. Sebut saja BLT, Kasus Monas, Status Ahmadiyah, keluarnya SKB, terakhir pemotongan gaji para pejabat, dan lain-lain yang membuat masyarakat mengalihkan perhatian.

Saya teringat ketika ada anak kecil nangis, maka untuk membujuknya harus dialihkan perhatiannya. Cara macam-macam, ada pakai permen, pakai cerita, diajak main-main bahkan diancam, diintimidasi sekalipun. Tampaknya pemimpin kita, kian hari semakin cerdik dalam hal rekayasa informasi ini. Ada banyak pola instan dari rekayasa informasi ini, dan hampir semuanya sangat efektif dalam meredam gejolak masyarakat. Sampai-sampai mahasiswapun berani dikasih “permen” agar tidak berteriak lagi.

Kalau boleh usul, Rekayasa Informasi ini juga dijadikan sebuah ilmu yang menjadi bagian dari Sistem Informasi. Seperti Data Mining misalnya, kalau Data Mining merupakan gabungan ilmu matematika, statistik, komputasi, dll, maka Rekayasa Informasi juga merupakan gabungan ilmu kelicikan, kekemarukan, kemunafikan, kearoganan dan ketidak perpihakan serta tanpa nurani.

Informasi menjadi kekuatan yang bisa membawa si perekayasa kepada keadaan yang mereka inginkan. Informasi kini menjadi semacam berhala yang selalu disembah-sembah.

Ingat, bagaimana hebatnya media infotainment memberitakan Sandra Dewi, artis asal Pangkal Pinang yang lagi naik daun, padahal dia pernah mengakui bahwa di dunia seni sama sekali dia tidak mempunyai talenta, nyanyi cempreng, akting juga asal-asalan, modal tampang doang. Akan tetapi, saat ini ia menjadi artis dengan nilai kontrak paling besar di Indonesia. Semua itu tak lepas dari sebuah teknik yang disebut Teknik Pencitraan Diri, ilmu ini merupakan bagian dari Ilmu Rekayasa Informasi.

Mari kita lihat lagi, betapa hampir seluruh pemimpin dinegeri ini, setiap saat selalu mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang baik, harapan semua orang, pahlawan yang selalu dielu-elukan. Padahal, sebenarnya tidak demikian. Hampir setiap hari kita melihat gambar mereka di media massa tersenyum dengan seabrek informasi tentang keberhasilannya.

Jika terjadi bencana alam, mereka datang berbondong-bondong (berikut dengan uang jalan yang sudah disediakan negara hasil pungutan pajak dari rakyat) kelokasi bencana, lalu mendengar keluhan para korban, kapan perlu dengan rasa penyelesalan yang sungguh-sungguh dan air mata, lalu kemudian berphoto dan selanjutnya pulang.

Besok harinya akan keluarlah headline tentang kunjungan mereka (tentu dengan photo memeluk anak-anak korban bencana) yang merupakan hasil rekayasa informasi yang sudah disepakati dengan para pemberita. Duh…betapa sangat terpengaruhnya mereka dengan Teknik Pencitraan Diri.

Bukannya langkah apa yang harus dilakukan, bagaimana teknis penyaluran bantuan, penanganan korban dan pemulihan situasi, serta prosedur recovery trauma pasca bencana yang harus diberitahukan kepada masyarakat, akan tetapi berita kunjungan mereka yang dijadikan berita utama…Sekali lagi zaman telah berubah….

Dulu masyarakat mengenal banyak Wali, para orang tua sering menceritakan betapa hebatnya Jaka Sembung mencuri harta kumpeni atau para tuan tanah, lalu dibagikan kepada masyarakat miskin. Dulu rakyat mempunyai banyak panutan dan mereka jadikan teladan. Ada Buya Hamka, ulama yang sangat bijaksana.

Saya masih ingat cerita, takkala Bang Ali Sadikin (saat itu beliau jadi Gubernur DKI Jakarta) mengusulkan bahwa orang yang mati di Jakarta tak usah dikuburkan, akan tetapi di bakar saja karena lahan semakin sempit. Saat itu muncul gejolak dari kelompok Islam bahwa itu adalah cara-cara agama lain yang tidak sesuai dengan Islam. Dengan Bijak Buya Hamka mencarikan jalan keluar. Beliau mengusulkan kuburan sistem tumpang (satu kuburan boleh dua mayat atau lebih). Tidak seperti sekarang, jika tidak suka langsung gebuk, uber, bahkan bunuh juga boleh.

Jika kita lihat Bung Hatta yang uang pensiunnya tidak cukup hanya untuk sekedar pembayar rekening listrik, disaat beliau kembali kepangkuan-Nya, meminta dikuburkan di tanah kusir, karena semata-mata hanya ingin dekat dengan rakyat yang hampir seluruh hidupnya dipergunakan untuk membela kepentingan mereka.

Dulu, kita kaya dengan pemimpin yang punya suri tauladan, yang tidak hanya sekedar teriak bersama kita bisa (hanya slogan, sama sekali tidak visioner). Sebutlah Teuku Umar, Imam Bonjol, Pattimura, sampai Soekarno, M.Yamin, Sudirman, M.Natsir, Hatta dan Hamka. Jika berperang mereka dibarisan paling depan, jika makan paling akhir, tidur paling larut, bangun paling pagi.

Mereka tidak hanya ngomong, teriak dan mengepalkan tangan ayo kita bisa akan tetapi juga bersikap, bertindak dan berprilaku. Mereka sama sekali tak pernah memikirkan bagaimana rupa dan tampilannya dimedia massa, apakah citra mereka populer atau tidak ditengah masyarakat, saat itu mereka tidak mengenal jajak pendapat, rekayasa informasi, apalagi bermain dengan angka porsentase tingkat popularitas.

Mereka sama sekali tak pernah untuk selalu menjaga wibawa dimuka umum, apa lagi berfikir untuk menyesuaikan warna atau bentuk pakaian dengan acara apa yang akan dihadiri. Akan tetapi yang ada difikiran mereka hanya satu, perjuangkan nasib rakyat, bangsa dan negara supaya tidak terjajah lagi. Hanya itu, lain tidak.

Sekarang, mana ada pemimpin yang seperti itu. Saya berani bertaruh, dizaman ini dimana informasi menjadi pusaran yang memabukkan, karena setiap saat kita disuguhi bermacam iklan yang datang sampai kebilik kita masing-masing, bahkan pada saat kita terlelap dan terlena dalam buaian bermimpi sekalipun.

Kini, tidak ada orang yang hidup tanpa prilaku konsumtif dan materialistis. Mereka sudah menjadi bagian dari penganut sistem Liberalisme, Kapitalis dan Demokrazi tanpa batas, sehingga secara tak sengaja sudah memberi ruang bagi berlakunya hukum rimba dalam hidup bermasyarakat. Siapa yang kuat, siapa yang kaya, siapa yang unggul, siapa yang licik, siapa yang …dst, maka itu yang akan menang.

Tanpa sadar kita seakan diseret ke ranah bagaimana tampilan menjadi yang paling kuat, paling bagus, paling unggul, paling hebat, paling mutakhir, paling mewah dan sebagainya. Tidak ada orang hidup tanpa memikirkan kepentingan mereka sendiri. Jika memang anggapan ini sudah tertanam dan permanen, maka orang seperti ini adalah manusia yang selalu hidup dalam kemunafikan, kemaruk, loba, tamak, koruptor, dll.

Bapak, Ibu, pembaca yang terhormat.

Pada awal abad ke-18, yang merubah wajah dunia adalah transportasi. Selanjutnya abad ke-19 Indusri (efeknya sampai sekarang yaitu Global Warming). Lalu pada abad ke-20 adalah Teknologi dan abad ke-21 ini yang akan merubah dunia adalah Informasi.

Terminologi Informasi akan berkembang sangat leluasa dan merasuk hampir keseluruh aspek kehidupan umat manusia. Dengan Teknologi Informasi manusia punya kesempatan untuk mengetahui apapun.

Revolusi terapi pengobatan kanker baru-baru ini tanpa kemoterapi dan akibat buruk bagi penderita, ditemukan karena adanya Teknologi Informasi dibidang kedokteran. Penemuan bahwa ada Planet yang kondisinya sangat mirip dengan kondisi bumi yang disebut dengan Super Earth adalah akibat kemajuan Teknologi Informasi dibidang astronomi. Banyak lagi penemuan spektakuler yang lain akibat dari kemajuan perkembangan Teknologi Informasi ini, dan itu tidak bisa disebutkan satu per satu.

Informasi itu ibarat pisau bermata dua, bisa digunakan buat mengupas mangga, buat layangan, membela diri dan lain-lain. Bisa juga digunakan untuk merampok, menodong dan menusuk orang. Masalah sekarang berpulang kepada diri kita masing-masing. Mau dipakai sebagai apa informasi yang beberapa bulan kedepan akan kita pelajari secara rinci prinsip dan filosofinya.

Bagi saya cuman satu, semoga informasi bisa lebih memanusiakan manusia.

0 komentar: