Selasa, 24 Juni 2008

Manakala Srikandi Jadi Brutal

Arus informasi seperti pusaran gelombang besar yang tiada henti melibas seluruh sendi-sendi kehidupan. Terjadi pergesaran yang sangat spartan ditengah masyarakat. Cara memandang dan menyelesaikan suatu masalah bukan lagi didasari oleh norma-norma kuno yang berlaku selama ini.

Norma-norma tradisional ketimuran yang berlaku dalam masyarakat perlahan dihapus, dilindas oleh budaya-budaya kebebasan praktis yang nyaris tiada batas. Kita terlanjur hidup dengan nurani yang kering, tidak mengenal malu, dosa dan belas kasihan.

Tengoklah, Kasus suap di Kejaksaan Agoung. Sudah jelas dia yang berbuat dan itu terang-terangan diketahui pada percakapannya di telepon, tapi mereka masih berkilah dengan seribu satu alasan.

Di Jepang ada budaya harakiri. Cina sangat memberlakukan hukuman mati kalau kasusnya seperti itu. Kenapa? Karena disamping mereka hidup bernegara dengan segala macam perangkat hukum, ada “sesuatu” nilai dalam relung-relung hati mereka yang masih bersih dan akan dipertanggung jawabkan pada Sang Pencipta.

Di Indonesia, sebelum vonis pengadilan jatuh, mereka masih dianggap tidak bersalah (prinsip praduga tak bersalah).

Itu betul, maka saat ini mereka berusaha memakai hukum untuk tidak terhukum, tanpa memikirkan nanti mereka akan dihukum juga oleh Tuhannya.

Sederhananya ada dua dosa besar yang sudah dibuat oleh tua-tuan jekso itu. Pertama, terlibat dalam skandal suap menyuap (memperjual belikan godam kebenaran). Kedua, Bersama-sama mengaku tidak terlibat dalam skandal suap menyuap (berdusta/munafik). Kenapa mereka bisa begitu ? ya…karena kita sudah terlanjur hidup tanpa hati nurani, tidak mengenal malu dan dosa. “Sesuatu” seperti yang saya sebutkan tadi, nyaris tidak ada pada diri mereka. Masya’ Allah!!.

Manakala taburan angin kebebasan berakumulasi dengan ketertindasan, maka efek yang ditimbulkan sangat dasyat. Pusaran badai kebrutalan mengamuk tanpa kenal batas. Disana tidak ada lagi penghormatan akan nilai-nilai. Hukum menjadi tidak berlaku. Aparat layaknya seperti anjing. Yang ada hanyalah pelampiasan rasa ketertindasan yang sangat brutal.

Dan itu terjadi dimana-mana. Disegala aspek kehidupan, disegala tingkatan kehidupan, mulai dari yang kaya sampai yang terlunta-lunta, mulai dari tua sampai anak-anak, laki, perempuan. Terakhir demo di DPR-RI yang menghancurkan fasilitas umum yang dibuat dengan uang rakyat.

Yang paling menarik, kasus penganiayaan oleh Genk Nero (di TI dikenal dengan aplikasi pembakar CD). Kita terhenyak. Adegan tampar menampar, gebuk, hardik, diperagakan dengan sempurna oleh anak-anak putri Indonesia. Harusnya mereka lembut, lemah gemulai dan keibuan. Akan tetapi sekarang, mereka sangat telaten dan trampil dalam menampar, menjambak, menendang. Kalau ada mata pelajaran itu, pasti dapat nilai 9. Sangat sempurna!

Kini kekerasan bukan lagi lambang kejantanan. Akan tetapi, kekerasan juga lambang kebetinaan. Kebetinaan, menurut nilai yang selama ini kita anut adalah kelembutan, keibuan dan sumurnya kasih sayang, sekarang sudah bergeser jauh akibat adanya arus informasi yang mengkondisikan kebebasan dan ketertindasan sedemikian rupa. Uh…betapa hebatnya.

Lalu siapa yang salah..kenapa mereka-mereka yang akan menjadi untaian melati bunga bangsa penghias wajah Ibu Pertiwi, bisa dibiarkan begitu. Kenapa Srikandi-srikandi Indonesia bisa menjadi brutal?

Agaknya kita perlu segera bergegas, melihat diri masing-masing. Masihkan kita punya hati nurani, masihkan kita hidup dalam norma kesahajaan layaknya orang Indonesia, adakah anak-anak kita ditanamkan dengan nilai-nilai luhur yang selama ini kita anut.

Ataukah kita senantiasa membiarkan mereka dan menuntut mereka dengan aneka target. Target dapat rangking, target dapat pekerjaan, target jadi yang terbaik dan segala macam target-target yang membuat mereka seperti robot tanpa perasaan.

Akibatnya, mereka jenuh dirumah dan mencari tempat diluar, dimana mereka bisa melampiaskan ketertekanan yang mereka hadapi sehari-hari. Walaupun taruhannya menerima kekerasan dan kebrutalan. Mereka merasa nyaman dan terlindungi dalam kelompok yang mereka buat.

Bapak, Ibu pembaca yang terhormat.

Tidak perlu menyalahkan pemerintah, sistem pendidikan, pembinaan kepemudaan dan lain-lain. Salahkan diri kita sendiri. Karena anak-anak kita itu berasal dari rumah. Rumah kita. Tempat mana tranpert nilai-nilai luhur dilakukan. Tempat mana mereka harus dapat perlindungan dan kenyamanan dalam menjalani hidup.

Yusta Noverison.

0 komentar: